Kebijakan Pemerintah untuk Mengatasi Permasalahan Ekonomi

 Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh Sumitro Joyohadikusumo (menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia). Programnya :
Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia. 
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional. 
Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit. 
Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.

Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun (1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar. Kegagalan program ini disebabkan karena :

Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.

Dampaknya program ini menjadi salah satu sumber defisit keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7 miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume impor.
2.      Gunting Syafruddin
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya tinggal setengahnya.
Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal 19 Maret 1950 
Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp. 2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman sebesar Rp. 200 juta.
3.      Nasionalisasi De Javasche Bank
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun 1951 pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian kredi tharus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter.

Tujuannya adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta melakukan penghematan secara drastis.

Perubahan mengenai nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
4.      Pembentukan Biro Perancang Negara
Biro Perancang Negara dibentuk pada masa kabinet Ali Sastroamidjojo I dengan tugas merancang pembangunan negara jangka pendek yang diketuai oleh Djuanda. Karena masa kerja kabinet yang terlalu singkat biro ini tidak dapat bekerja maksimal.
5.      Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh Iskaq Tjokrohadisurjo (mentri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah 
• Untuk memajukan pengusaha pribumi. 
• Agar para pengusaha pribumi Bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
• Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. 
• Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.

Ali digambarkan sebagai pengusaha pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya Cina.

Pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, 
Pengusaha pribumi diwajibkan untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf.
Pemerintah menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional 
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan perusahaan-perusahaan asing yang ada.

Program ini tidak dapat berjalan dengan baik sebab:
Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.

Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
6.      Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya pelaksanaan pembangunan. 

Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek, tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958. Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah. 

RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :

Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan negara merosot.
Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.

Kabinet pada Massa Demokrasi Liberal

Pada masa demokrasi liberal Indonesia adalah  masa yang suram juga bagi rakyat Indonesia karena di masa ini yang berkuasa hanyalah kabinet-kabinet didalam pemerintahan. Kabinet-kabinet yang berkuasa itu tidak lama (sering pergantian kabinet), diakarenakan banyaknya partai.  Pergantian kabinet ini terjadi hampir tiap tahun karena didalam pemerintahan tidak ada kabinet yang bertahan lama. Maka ciri khas pada masa demokrasai liberal ini adalah seringya terjadi pergantian kabinet yang disebabkan banyaknya partai.
            Demokrasi liberal ini berlansung lebih kurang 9 tahun yaitu tahun 1950-1959. Sejak tanggal 17 Agustus 1950 Republik Indonesia Serikat (RIS) secara resmi dibubarkan dan Indonesia kembali menjadi negara kesatuan yang berbentuk Republik. Negara Kesatuan Republik Indonesia pada saat itu menggunakan UUDS 1950 sampai terbentuknya konstitusi yang tetap.
               Dalam UUDS 1950 ditetapkan bahwa sistem demokrasi yang digunakan adalah demokrasi liberal, sedangkan sistem pemerintahannya adalah kabinet parlementer. Dalam kabinet perlementer, kekuasaan pemerintahan tertinggi dipegang oleh perdanan menteri, presiden hanya berkedudukan sebagai kepala negara. Adapun perdana menteri bersama dengan para menteri (kabinet) bertanggung jawab kepada parlemen (DPR).Selama berlakunya UUDS 1950, pemerintah Republik Indonesia diwarnai dengan pergantian tujuh kabinet secara berturut-turut, yaitu sebagai berikut.
    Kabinet Natsir (6 September 1950 – 21 Maret 1951)
    Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)
    Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 2juni 1953)
    Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)
    Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)
    Kabinet Ali Sastroamijoyo II (20 Maret 1956 – 14 Maret 1957)
    Kabinet Djuanda (9 April 1957 – 5 Juli 1959)
                 Keadaan politik Indonesia selama pelaksanaan demokrasi liberal sejak tanggal 17 Agustus 1950 sampai dengan 5 Juli 1959 penuh dengan pertentangan antarpartai sehingga menimbulkan kekacauan di berbagai sektor kehidupan masyarakat Indonesia. Berikut sedikit uraian mengenai keadaan negara Indonesia masa setiap kabinet yang pernah menjabat.
1.    Sosial budaya Indonesia pada masa  Kabinet Natsir

                Pada masa kabinet ini, yang paling ditonjolkan adalah pendidikan. Hal ini terdapat pada pemikiran Natsir terhadap Pendidikan di Indonesia. Natsir berpikir bahwa pendidikan di Indonesia sangat efetif bila didasarkan pada ajaran islam. Berikut adalah gagasan Natsir terhadap pendidikan dan pengaruhnya bagi Indonesia  dalam buku Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia, Abuddin Nata, menjelaskan tentang gagasan dan pemikiran pendidiksan Natsir ( 2005 : 81-94) sebagai berikut.
a.      Tentang peran dan fungsi pendidikan. Dalam hubungan ini paling kurang terdapat enam rumusan yang dimajukan Natsir.
Pertama, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk memimpin dan membimbing agar manusia yang dikenakan sasaran pendidikan tersebut dapat mencapai pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani secara sempurna.
Kedua, pendidikan harus diarahkan untuk menjadikan anak didik memiliki sifat- sifat kemanusiaan dengan mencapai akhlak al - karimah yang sempurna.
Ketiga, pendidikan harus berperan sebagai sarana untuk menghasilkan manusia yang jujur dan benar ( bukan pribadi yang hipokrit ).
Keempat, pendidikan agar berperan membawa manusia agar dapat mencapati tujuan hidupnya, yaitu menjadi hamba Allah Swt.
 Kelima, pendidikan harus dapat menjadikan manusia yang dalam segala perilaku atau interaksi vertical maupun horizontalnya selalu menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Keenam, pendidikan harus benar- benar mendorong sifat - sifat kesempurnaannya dan bukan sebaliknya, yaitu menghilangkan dan menyesatkan sifat -sifat kemanusiaan. Kekuasaan mutlak yang harus ditaati. Ketaatan kepada Allah yang mutlak itu mengandung makna menyerahkan diri secara total kepada Allah. Menjadikan manusia menghambakan diri hanya kepada -Nya.
b.      Tentang tujuan pendidikan Islam. Menurut Natsir, tujuan pendidikan pada hakikatnya adalah merealisasikan idealitas Islam yang pada intinya menghasilkan manusia yang berperilaku islami, yakni beriman dan bertaqwa kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan tujuan pendidikan nasional yang terpatri dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menempatkan beriman dan bertaqwa kepada Allah Yang Maha Esa sebagai tujuan sentral.
Menurut M. Natsir, seorang hamba Allah adalah orang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah, sebagai pemimpin manusia. Mereka menjalankan perintah Allah SWT dan berbuat baik kepada sesama manusia, menunaikan ibadah terhadap Tuhannya sebagaimana dinyatakan dalam Al Qur’an surat Al Baqarah ayat 177 yang artinya.
Bukanlah kebaikan itu dengan menghadapkan muka ke arah barat dan timur, tetapi kebaikan itu adalah mereka yang beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat, kitab, dan nabi -nabi -Nya serta memberikan harta yang disayanginya kepada karib -karibnya, anak yatim, orang yang terlantar, orang yang terputus uang belanjanya dalam perjalanan serta untuk memerdekakan manusia dari perbudakan. Ia mendirikan shalat, membayar zakat, teguh memegang janji apabila ia berjanji, bersifat sabar dan tenang di waktu bahaya dan bencana.
Berdasarkan ayat tersebut di atas, seorang hamba Allah adalah mereka yang memiliki enam sifat sebagai berikut. Pertama, memiliki komitmen iman dan tauhid yang kokoh kepada Allah serta terpantul dalam perilakunya sehari - hari. Kedua, memiliki kepedulian dan kepekaan sosial dengan cara memberikan bantuan dan santunan serta mengatasi kesulitan dan penderitaan orang lain. Ketiga, senantiasa melakukan hubungan vertikal dengan Tuhan dengan menjalankan ibadah shalat secara kontinu. Keempat, senantiasa melakukan hubungan horizontal dengan sesama manusia dengan cara memberikan sebagain harta yang dimiliki kepada orang lain. Kelima, memiliki akhlak yang mulia yang ditandai dengan kepatuhan dalam menunaikan janji yang telah diucapkannya, Keenam, memiliki jiwa yang tabah dalam menghadapi situasi dan kondisi yang kurang menyenangkan, bahkan menakutkan.
c.       Tentang dasar pendidikan. Dalam tulisannya yang berjudul Tauhid sebagai Dasar Didikan, M. Natsir menceritakan tentang pentingnya tauhid dengan mengambil contoh pada seorang professor fisika bernama Paul Ehrenfest yang mati bunuh diri. Ia berasal dari keluarga baik -baik dan telah memperoleh pendidikan Barat tingkat tinggi. Telah banyak penemuan -penemuan rahasia alam yang dihasilkannya dan telah menjadi bahan rujukan dalam dunia ilmu pengetahuan. Pekerjaannya sehari -hari tak pernah tercela. Demikian pula pergaulannya selalu dengan orang yang baik -baiknya, bahkan ia sendiri termasuk orang yang ramah.
d.      Tentang ideologi dan pendekatan dalam pendidikan. Natsir mengajukan konsep pendidikan yang khas ditengah persoalan dikotomis antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Konsep pendidikannya adalah integral, harmonis, dan universal. Dalam pidato yang ia sampaikan pada rapat Persatuan Islam di Bogor, 17 Juni 1934 dengan judul - Ideologi Didikan Islam serta dalam tulisannya di Pedoman Masyarakat pada 1937 dengan judul Tauhid sebagai dasar Pendidikan, dengan gamblang menggariskan ideologi pendidikan umat Islam dengan bertitik tolak dari dan berorientasi kepada tauhid sebagaimana tersimpul dalam kalimat syahadat.
Melalui dasar tersebut akan tercipta integrasi pendidikan agama dan umum. Konsep pendidikan yang integral, universal, dan harmonis menurut Natsir, tidak mengenal dikotomi antara pendidikan agama dan pendidikan umum, melainkan antara keduanya memiliki keterpaduan dan keseimbangan. Semua itu dasarnya agama, apa pun bidang dan disiplin ilmu yang ditekuninya. Sepertinya kelahiran Sekolah Islam Terpadu saat ini melalui himpunan keanggotaan Jaringan Sekolah Islam Terpadu Indonesia memiliki nafas yang sama dengan pandangan Natsir ini.
e.       Tentang fungsi bahasa asing. Menurut Natsir bahwa bahasa asing.
Menurut Natsir bahwa bahasa asing amat besar perannya dalam mendukung kemajuan dan kecerdasan bangsa. Dalam kaitan ini, Natsir selalu ingat pada ucapan Dr.G. Drewes yang mengatakan bahwa hanya dengan mengetahui salah satu bahasa Eropa, yang terutama sekali bahasa Belanda, masyarakat bumi putra dapat mencapai kemajuan dan kemerdekaan pikiran.
Lebih lanjut Dr. Drewes sebagaimana dikutip oleh Natsir mengatakan bahwa sebagai dasar bagi kecerdasan salah satu bangsa adalah bahasa ibunya sendiri. Bahasa erat kaitannya dengan corak berpikir suatu bangsa. Bahasa dari salah satu bangsa adalah tulang punggung dari kebudayaannya. Mempertahankan bahasa sendiri berarti mempertahankan sifat -sifat dan kebudayaannya sendiri. Kultur suatu bangsa berdiri atau jatuh bergantung pada bahasa dari bangsa itu sendiri. Sejalan itu, maka bahasa merupakan salah satu faktor terpenting yang mendorong mutu dan kecerdasan suatu bangsa. Bahasa ibu, bahasa kita sendiri. Adalah menjadi syarat bagi tegaknya kebudayaan kita.
Demikianlah antara lain pandangan Natsir terhadap bahasa asing khususnya bahasa Belanda dan Bahasa Arab. Untuk itu, kepada para siswa harus diberikan kemampuan berbahasa asing dan dengan melakukan langkah -langkah antara lain .
1.      Perlu adanya upaya membasmi semangat anti-Arab atau anti-Islam yang diciptakan     oleh kolonial linguistik dan penguasa pribuminya yang taat dan setia.
2.      Status linguistik yang bebas dari bahasa Arab harus diakui dan bahasa Arab harus diperlakukan tidak lagi sebagai karya teologis.
3.      Negara -Negara Islam yang bahasa ibunya bukan bahasa Arab, harus menerima bahasa Arab sebagai bahasa kedua setelah bahasa Nasional ibunya.
f.       Tentang keteladanan guru. Menurut DR.G.J. Nieuwenhuis sebagaimana dikutip oleh Natsir, suatu bangsa tidak akan maju, sebelum adanya guru yang mau berkorban untuk kemajuan bangsa tersebut pernyataan ini dikutip oleh Natsir, karena pada saat itu minat kalangan akademik untuk menjadi guru sudah mulai menuru. Berkaitan dengan masalah ini, Natsir menulis artikel dengan kalimat pembuka : Sekarang saya mempropagandakan pendidikan, tetapi nanti saya tidak dapat mendidik anak -anak saya. Pernyataan kalimat tersebut merupakan salah satu alasan yang dikemukakan seorang lulusan HIK yang pernah menjadi pemuka dari organisasi guru -guru di Indonesia. Dari ungkapan itu Natsir memahami mengapa guru tamatan HIK menukar pekerjaannya ( alih profesi ) dari yang semula sebagai guru menjadi pegawai pos.
Sistem pendidikan Belanda memang betul dapat memberikan bekal pengetahuan modern, keterampilan dan keahlian yang dibutuhkan oleh zaman, tapi sayang jiwanya kerdil, dan dikotomis karena tidak memiliki landasan iman dan akhlak yang mulia. Di sisi lain pendidikan pesantren dan madrasah memang betul memberikan bekal akidah dan akhlak yang mulia, tapi tidak memberikan bekal ilmu pengetahuan modern, teknologi dan keterampilan yang memenuhi kebutuhan masyarakat sekarang.
2. Dampak positif dan negatif dari perjanjian MSA (Mutual Security Act) pada masa Kabinet Sukiman
                                                                 
Kabinet Sukiman adalah koalisi antara Masyumi dengan PNI. Pada masa Kabinet Sukiman bermunculan  berbagai gangguan keamanan, sepertiDI/TII semakin meluas dan Republik Maluku Selatan. Kabinet ini jatuh disebabkan kebijakan politik luar negerinya diangap condong ke Serikat. Pada 15 Januari 1952 diadakan penandatanganan Mutual Security Act (MSA) yangi berisi kerja sama keamananan dan Serikat akan memberikan bantuan ekonomi dan militer.
Mutual Security Act (MSA) adalah program bantuan militer dan keuangan oleh Amerika Serikat pada awal Perang Dingin di tahun 1950an. MSA diluncurkan pada tahun 1951 dan berlangsung hingga tahun 1961. Bantuan ini diberikan ke banyak negara dan menggantikan program bantuan Marshall Plan yang diluncurkan di akhir Perang Dunia II.
 Tujuan utama MSA adalah membantu negara-negara berkembang yang terancam penyebaran komunisme, dan berbentuk bantuan militer, ekonomi, dan teknis kepada negara sekutu Amerika Serikat. Bantuan tersebut terutama ditujukan untuk mendukung negara-negara Eropa Barat saat Perang Dingin mulai memanas.
 Indonesia juga merupakan salah satu negara yang mendapatkan bantuan MSA dari Amerika Serikat pada masa Kabinet Sukirman (27 April 1951 hingga 25 Februari 1952). Ini setelah Menteri Luar Negeri pada kabinet tersebut, Achmad Subarjo menandatangani perjanjian ini. Indonesia pun mendapatkan bantuan militer dana.
 Namun penandatanganan perjanjian ini ditentang berbagai kalangan di Indonesia dan akhirnya menyebabkan jatuhnya kabinet tersebut.
 Akibat dari penandatanganan ini, kabinet Sukirman yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sukiman Wiryosanjoyo, dianggap melanggar prinsis hubungan luar negeri “bebas aktif”, dan menjadikan Indonesia bersekutu dengan Amerika Serikat.
 Karena itu, Partai Masyumi, yang saat itu dipimpin oleh Muhammad Natsir, menolak mendukung penandatanganan MSA ini. Akibatnya, Kabinet Sukirman kehilangan mandatnya. Pada 23 Februari 1952, Sukiman Wiryosanjoyo menyerahkan kembali mandatnya sebagai perdana menteri kepada presiden Sukarno, dan membubarkan kabinetnya. Kabinet Sukirman ini kemudian digantikan oleh kabinet Wilopo.
·         Dampak Positif perjanjian MSA
1.      Meningkatnya keamanan negara Indonesia
Dengan tertandatanganinya perjanjian ini, negara Indonesia mendapat bantuan militer dari AS untuk menjaga Indonesia dari segala ancaman terutama ancaman paham komunis. Hal ini sesuai dengan isi perjanjian tersebut dimana AS berusaha membendung paham komunis agar Teori Domino tidak terjadi.
2.      Perekonomian negara Indonesia semakin maju
Tak hanya bantuan militer, Indonesia juga mendapat bantuan ekonomi dari Amerika untuk meningkatkan pembangunan dan mengatasi masalah perekonomian negara Indonesia, sesuai syarat yang ditawarkan oleh AS, yaitu “Sebagai imbalan negara peminjam diwajibkan : Berusaha menstabilkan keuangan masing-masing negara dan melaksanakan anggaran pendapatan yang berimbang. Mengurangi penghalang-penghalang yang menghambat kelancaran perdagangan antara negara-negara peminjam. Mencegah terjadinya inflasi. Menempatkan perekonomian negara masing-masing negara atas dasar sendi-sendi perekonomian yang sehat. Memberikan bahan-bahan yang diperlukan Amerika Serikat untuk kepentingan pertahanan. Meningkatkan persenjataan masing-masing negara untuk kepentingan pertahanan.”
3.      Terhadangnya paham komunis masuk ke Indonesia
Alasan utama mengapa AS mengadakan perjanjian ini adalah untuk menghadang komunisme agar tida terjadi teori domino. Teori domino adalah teori yang berspekulasi bahwa apabila sebuah negara di suatu kawasan terkena pengaruh komunisme, negara-negara sekitarnya akan ikut dipengaruhi komunisme lewat efek domino. Teori yang sering didengungkan pada tahun 1950-an sampai 1980-an ini digunakan oleh beberapa presiden Amerika Serikat semasa Perang Dingin sebagai alasan intervensi A.S. di seluruh dunia. Salah satu syarat agar mendapat bantuan AS adalah “Bantuan akan dihentikan apabila di negara peminjam terjadi pergantian kekuasaan yang mengakibatkan negara tersebut melaksanakan paham komunis.”
4.      Terjalinnya sebuah kerja sama antara Indonesia dengan AS
Dengan terjalinya kerja sama, hal ini akan membantu sesama negara apabila mengalami kesulitan dalam mengelola negara
·         Dampak negatif perjanjian MSA :
1.      Lengsernya kabinet Sukiman
Pertukaran nota antara Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo dan Duta Besar Amerika Merle Cochran menjadi penyebab lengsernya kabinet ini. Isi nota tersebut adalah bantuan ekonomi dan militer yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada Indonesia berdasarkan Mutual Security Act (MSA) atau lebih dikenal dengan nama undang-undang kerja sama keamanan.
Hal tersebut dinilai menciderai konsep politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dianut oleh Indonesia. Kabinet Sukiman dituduh telah menjadikan Indonesia masuk ke dalam Blok Barat. Hal itulah yang membuat DPR menggugat kebijakan kabinet tersebut dan akhirnya kabinet tersebut jatuh.
2.      Tidak maksimalnya pembangunan Indonesia yang telah direncanakan oleh kabinet Sukiman
Dengan lengsernya kabinet Sukiman, semua pembangunan yang telah direncanakan sebelumnya tida terealisasikan, akibatnya pembangunan di Indonesia tidak maksimal.


3.      Analisis Peristiwa Tanjung Morawa pada masa Kabinet Wilopo

                                                  
Peristiwa Tanjung Morawa terjadi pada 16 Maret 1953 di daerah Tanjung Morawa (ssekarang bernama Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara). Peristiwa ini merupakan konflik perebutan lahan seluas 255.000 Hektar yang merupakan perkebunan kelapa sawit, teh dan tembakau milik perusahaan Belanda bernama Deli Palnters Vereniging (DPV) yang dikerjakan oleh Pribumi dan keturunan Tionghoa ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Peristiwa Tanjung Morawa turut menyeret jatuhnya Kabinet Perdana Menteri (PM) Wilopo pada era Demokrasi Liberal (1950-1959).
Permasalahan Tanjung Morawa muncul ketika tanah yang sebelumnya digarap oleh pribumi dan Tionghoa harus dikembalikan kepada DPV atas dasar Konferensi Meja Bundar (KMB). Kesepakatan KMB menghasilkan pengakuan kemerdekaan, namun dengan syarat pengembalian lahan kepada investor asing tak terkecuali Belanda. Luas tanah DPV sebelum meletusnya PD II adalah 255.000 Ha. Tanah seluas 125.000 Ha adalah tanah yang diminta DPV, sedangkan sisanya yaitu 130.000 dikembalikan kepada pemerintah Indonesia.
Atas kesepakatan tersebut, Kabinet Wilopo mengutus Menteri Dalam Negeri, Mohammad Roem untuk melakukan pengosongan lahan. Pengosongan tersebut ditujukan kepada Gubernur Sumatera, A. Hakim. Perintah tersebut semula akan dituruti oleh masyarakat petani dan keturunan Tionghoa, namun terjadi provokasi oleh Barisan Tani Indonesia (BTI) yang merupakan organisasi dibawah naungan PKI sehingga yang awalnya bersikap kooperatif menjadi menolak kebijakan yang dilakukan pemerintah tersebut.
Penolakan tersebut akhirnya berujung pada konflik pada tanggal 16 Maret 1953. Pemerintah mengerahkan unit traktor dan mendapatkan perlindungan dari aparat Brigade Mobil (Brimob). Para petani melakukan aksi demonstrasi atas pentraktoran dan bentrokpun tak terhindarkan. Pada insiden tersebut terjadi tragedi penembakan yang menimbulkan 21 korban, dimana 6 diantaranya tewas.
Insiden ini kemudian menjadi perbincangan di Parlemen Indonesia. Bisa dibilang kejadian Tanjung Morawa kemudian menjadikan kesempatan dari partai oposisi di parlemen untuk menjatuhkan Kabinet Wilopo. Tokoh - tokoh PNI mencela pemerintah, kemudian Sidik Kertapati yang merupakan tokoh Sarekat Tani Indonesia (SAKTI) melayangkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Wilopo. Akibat mosi tidak percaya ini, kemudian diadakan tindak lanjut dan diputuskan PM Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno pada tanggal 2 Juni 1953
4.      Mengapa terjadi koalisi PNI dengan NU dan Masyumi sebagai Oposisi pada Masa Kabinet  Ali Sastroamijoyo I ?
                                              


Pada tanggal 3 Juni 1953, Perdana Menteri Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden sebagai akibat dari Peristiwa Tanjung Morawa. Dengan demikian kabinet dinyatakan demisioner. Kabinet Ali Sastroamijdojo merupakan kabinet pengganti dari Kabinet Wilopo. Kabinet Ali mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca kekosongan selama 58 hari (sepeninggalan Kabinet Wilopo).
Untuk mengisi jabatan Perdana Menteri ditunjuk Ali Sastroamidjojo yang saat itu menjabat Duta Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Ali Sastroamidjojo dari PNI sempat ragu, karena selama ini belum pernah diajak bicara oleh partainya mengenai pembentukkan kabinet. Tetapi setelah didesak oleh Ketua Umum PNI, Sidik Joyosukarto, akhirnya Ali Sastroamidjojo mau menduduki jabatan perdana menteri. Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1953, Presiden mengumumkan pembentukan Kabinet Ali Sastroamidjojo yang kemudian disahkan dengan Keputusan Presiden RI No. 132 Tahun 1953 tertanggal 30 Juli 1953. Pelantikan Ali Sastroamidjojo sebagai Perdana Menteri dilangsungkan di Istana Negara pada tanggal 12 Agustus 1953.
Dalam Kabinet Ali, Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam hal ini NU (Nahdatul Ulama) kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik baru. Maka dari itu, terjadilah koalisi antara PNI dan NU. Mengapa Masyumi tidak ikut serta sehingga menjadi pihak oposisi? Hal ini karena adanya beberapa perbedaan dan arah tujuan di antara kalangan politii pada waktu revolusi.
Perseteruan antara Presiden dan Masyumi terjadi pada saat Kabinet Sukiman. Seperti yang terjadi perbedaan pendapat antara Sukarno yang tidak setuju tentang perdamaian dengan Jepang, dan penerimaan bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya dengan Sukiman yang akan melakukan pembersihan terhadap PKI. Meskipun begitu Sukarno tetap menahan diri. Kabinet Sukiman menjadi paling terkenal dengan dilakukannya satu-satunya usaha yang serius  pada masa itu untuk menumpas PKI. Kaum PKI menjadi komunis menjadi marah dengan bersedianya PNI bergabung dalam suatu koalisi dengan Masyumi, karena strategi mereka sangat tergantung pada kedua partai itu masih terus bertikai satu sama lain.
Selanjutnya pada kabinet Wilopo perdebatan antara Sukarno dengan Masyumi menyangkut masalah ideologi atau dasar negara Indonesia. Sukarno pernah berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan tanggal 27 Januari 1953. Pada kesempatan itu pula ia berpidato tentang keinginan negara nasional dan bukan negara berdasarkan Islam. Pernyataan Sukarno itu mendapat tanggapan berbagai kalangan, khususnya tokoh-tokoh Masyumi.
Keterlibatan PKI sejauh ini belum terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena saat itu sedang memanasnya hubungan Sukarno dengan Partai Masyumi. Setelah kabinet Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden, Kabinet Ali I mulai menjalankan pemerintahan pada tanggal 12 Maret 1953. Pada masa inilah untuk pertama kalinya Masyumi tidak duduk dalam kabinet, sehingga menempatkan Masyumi dalam partai oposisi.
5. Kondisi Rakyat saat Pemilu Pertama pada Masa Kabinet Buhanuddin Harahap
                                                     
Pendaftaran pemilih dalam Pemilu 1955 mulai dilaksanakan sejak bulan Mei 1954 dan baru selesai pada November. Tercatat ada 43.104.464 warga yang memenuhi syarat masuk bilik suara. Dari jumlah itu, sebanyak 87,65% atau 37.875.299 yang menggunakan hak pilihnya pada saat itu. Tidak kurang dari 80 partai politik, organisasi massa, dan puluhan perorangan ikut serta mencalonkan diri dalam Pemilu yang pertama ini.
Keseluruhan peserta Pemilu pada saat itu mencapai 172 tanda gambar. Pada Pemilu ini, anggota TNI-APRI, juga menggunakan hak pilihnya berdasarkan peraturan yang berlaku ketika itu. Pada pelaksanaan Pemilu pertama, Indonesia dibagi menjadi 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 daerah kabupaten, 2.139 kecamatan, dan 43.429 desa. Dengan perbandingan setiap 300.000 penduduk diwakili seorang wakil. Pemilu pertama ini diikuti oleh banyak partai politik karena pada saat itu NKRI menganut kabinet multi partai sehingga DPR hasil Pemilu terbagi ke dalam beberapa fraksi.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu:
a)  Tahap pertama adalah Pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu.
b)  Tahap kedua adalah Pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.
Selain pemilihan DPR dan Konstituante, juga diadakan pemilihan DPRD. Pemilu DPRD dilaksanakan dalam dua tahap, Juni 1957 pemilu untuk Indonesia wilayah Barat, dan Juli 1957 untuk pemilu Indonesia wilayah Timur. Dengan dipisahnya waktu penyelenggaraan pemilu DPR, Konstituante, dan DPRD, pemilu menjadi fokus.
Meskipun Kabinet Ali Jatuh, pemilu terlaksana sesuai dengan rencana semasa kabinet Burhanudin Harahap. Pemilu yang pertama dilaksanakan pada tahun 1955. Sekitar 39 Juta rakyat Indonesia datang ke bilik suara untuk memberikan suaranya. Pemilu saat itu berjalan dengan tertib, disiplin serta tanpa politik uang dan tekanan dari pihak manapun. Oleh karena itu, banyak pakar politik yang menilai bahwa pemilu tahun 1955 sebagai pemilu paling demokratis yang terlaksana di Indonesia sampai sekarang.
Menurut George McTurnan Kahin, Pemilu tahun 1955 tersebut begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-partai politik terukur lebih cermat dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Sebelum Pemilu, parlemen selalu menjadi sasaran kekecewaan, terutama dari kelompok militer yang merasa kepentingannya selalu dicampuri. Selain itu, masyarakat luas juga memiliki harapan akan suksesnya Pemilu karena kabinet berulang-kali jatuh-bangun; wewenang pemerintah yang selalu mendapat rintangan dari tentara; korupsi; nepotisme dan pemerintah yang terkesan lumpuh di dalam menghadapi berbagai persoalan. Karena belum ada lembaga penyelenggara pemilihan umum yang mapan, pengorganisasian pemungutan suara menjadi tanggungjawab pemerintah dan wakil-wakil partai politik. Organisasi itu terdapat pada setiap jenjang pemerintahan, mulai dari pusat sampai ke tingkat desa.  Partai-partai berjuang untuk merebut simpati rakyat dengan berbagai jalan, salah satunya mengembangkan cara kampanye simpatik dengan mengunjungi rumah penduduk satu per satu. Penggalangan massa ini dinilai efektif untuk meyakinkan calon pemilih yang masih ragu-ragu untuk menentukan pilihannya.
Penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 menelan biaya Rp 479.891.729. Angka itu dikeluarkan untuk membiayai perlengkapan teknis pemilihan seperti pembuatan kotak suara dan honorarium panitia penyelenggara Pemilu. Menurut Herbert Feith dana Pemilu itu sebenarnya terlampau mahal. Salah satu faktor yang mendongkrak kenaikan biaya adalah kelambanan unit-unit kerja panitia Pemilu yang pada akhirnya menambah beban biaya.
6. Gerakan Assat (Anti-Tionghoa) pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II
Pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu gerakan yang diprakarsai Mr. Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan "pribumi". Mr. Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat dengan Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk menghentikan keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing, dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus terang ia menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program anti Tionghoa. Menurut pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai "asli".
Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.
7. Keterkaitan Deklarasi Djuanda dengan teritorial Indonesia dan Munculnya Pemberontakan PRRI Permesta pada Masa Kabinet Djuanda/Karya.
                                              
a.      Keterkaitan Deklarasi Djuanda dengan teritorial Indonesia
Secara geografis, negara Indonesia adalah negara kepualan dengan lautan yang sangat luas dan ribuan pulau besar dan kecil. Pada awal kemerdekaan, kekayaan alam di lautan belum dapat dikuasai secara penuh negara Indonesia. Waktu itu tidak semuanya merupakan laut territorial, melainkan sebagian merupakan laut bebas dan laut internasional. Hal ini dikarenakan Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa:
“Laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”
Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan, yaitu:
1.   Kesatuan wilayah Indonesia tidak utuh
2.   Batas 3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia.
3.   Sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia.
4.   Kekayaan alam yang terdapat di luar 3 mil tidak dapat dikuasai dan dimanfaatkan oleh Indonesia
Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:
”Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia.  Lalu lintas yang damai di perairan  pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia”.
Dari deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda. Deklarasi Djuanda dicetuskan pada tanggal 13 Desember 1957 oleh Perdana Menteri Indonesia pada saat itu, Djuanda Kartawidjaja
Dasar pertimbangan pemerintah untuk menetapkan Deklarasi Djuanda adalah:
1.   Bentuk geografi Indonesia sebagai suaut negara kepualan yang terdiri dari beribu-ribu pulau mempunyai sifat dan corak tersendiri, memerlukan pengaturan tersendiri pula
2.   Bagi keutuhan terirotial dan untuk melindungi kekayaan negara Indonesia, semua kepulauan serta laut diantaranya harus dianggap sebagai satu kesatuan yang sangat bulat.
3.   Penentuan batas lautan territorial seperti termaktub dalam Teritorial Zee en Maritime Kringen Ordonantie 1939, tidak sesuai dengan kepentingan keselamatan dan keamanan bagi wilayah daratan Indonesia
4.   Setiap negara yang berdaulat berhak dan berkewajiban untuk mengambil langkah dan tindakan yang dipandang perlu guna melindungi keutuhan dan keselamatan negara.
Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa tanah  air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional yang terkenal dengan sebutan wawasan nusantara. Deklarasi Djuanda membuat batas kontinen laut kita diubah dari 3 mil batas air terendah menjadi 12 mil dari batas  pulau terluar. Kondisi ini membuat wilayah Indonesia semakin menjadi luas dari sebelumnya hanya 2.027.087 km2 menjadi 5.193.250 km2.
Dikeluarkannya Deklarasi Djuanda membuat banyak negara yang keberatan terhadap konsepsi landasan hukum laut Indonesia yang baru. Untuk merundingkan penyelesaian masalah hukum laut ini, pemerintah Indonesia melakukan harmonisasi hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga. Selain itu Indonesia juga melalui konferensi Jeneva pada tahun 1958, berusaha mempertahankan konsepsinya yang tertuang dalam deklarasi Djuanda dan memantapkan Indonesia sebagai  Archipelagic State Principle atau negara kepulauan.
Deklarasi Djuanda ini baru bisa diterima di dunia internasional setelah ditetapkan dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang ke-3 di Montego Bay (Jamaika) pada tahun 1982 (United Nations Convention On The  Law of The Sea/UNCLOS 1982). Pemerintah Indonesia kemudian meratifkasinya dalam UU No.17/ 1985 tentang pengesahan UNCLOS 1982 bahwa Indonesia adalah negara kepulauan. Setelah diperjuangkan selama lebih dari dua puluh lima tahun, akhirnya pada 16 November    1994, setelah   diratifkasi oleh 60 negara, hukum laut Indonesia diakui oleh dunia internasional.  Upaya ini tidak lepas dari perjuangan pahlawan diplomasi kita, Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja dan Prof. Dr. Hasjim Djalal, yang setia mengikuti berbagai konferensi tentang hukum laut yang dilaksanakan PBB dari tahun 1970an hingga tahun 1990an. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, tanggal 13 Desember dicanangkan sebagai hari Nusantara dan ketika masa Presiden Megawati dikeluarkan keputusan Presiden No. 126/2001 tentang hari Nusantara dan tanggal 13 resmi menjadi hari perayaan nasional.
b.      Munculnya Pemberontakan PRRI dan Permesta
Munculnya pemberopntakan prri dan permesta bermula dari adanya persoalan di dalam Angkatan Darat, berupa kekecewaan atas minimnya kesejahteraan tentara di Sumatera dan Sulawesi. Hal ini mendorong beberapa tokoh militer untuk menentang kepala staf Angkatan Darat (KSAD). Persoalan kemudian ternyata malah meluas pada tuntutan otonomi daerah. Ada ketidak adilan yang dirasakan beberapa tokoh militer dan sipil di daerah terhadap pemerintah pusat dalam alokasi dana pembangunan. Kekecewaan tersebut diwujudkan dengan pembentukan dewan – dewan daerah sebagai alat pejuang tuntutan pada Desember 1056 dan Februari 1957, seperti :
a.    Dewan banteng di sumatera barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein.
b.    Dewan gajah di sumatera utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolan.
c.    Dewan garuda di sumatera selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian.
d.   Dewan manguni di sulawesi utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumuel.
Dewan – dewan ini bahkan kemudian mengambil alih kekuasaan pemerintah daerah diwilayahnya masing – masing. Beberapa tokoh sipil dari pusat pun mendukung meraka bahkan bergabung kedalamnya, seperti Syafruddin Prawiranegara, Burhanuddin Harahap dan Mohammad Natsir. KSAD Abdul Haris Nasution dan PM Juanda sebenarnya berusaha mengatasi krisis ini dengan jalan musyawarah, namun gagal.Ahmad Husein lalu mengultimatum pemerintah pusat, menuntut agar kabinet Djuanda mengundurkan diri dan menyerahkan mandatnya kepada presiden. Tuntutan tersebut jelas ditolak oleh pemerintah pusat. Krisis pun akhirnya memuncak pada tanggal 15 Februari 1958 Ahmad Husein memproklamirkan berdirinya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Padang, Sumatera Barat. Seluruh dewan perjuangan di Sumatera dianggap mengikuti pemerintah ini. Sebagai perdana menteri PRRI ditunjuk Mr. Syafruddin Prawiranegara.
Bagi Syarifuddin, pembentukan PRRI hanyalah sebuah upaya untuk menyelamatkan negara indonesia, dan bukan memisahkan diri. Apalagi PKI saat itu mulai memiliki pengaruh di pusat. Tokoh – tokoh sipil yang ikut dalam PRRI sebagian memang berasal dari partai Masyumi yang dikenal anti PKI. Berita proklamasi PRRI ternyata disambut dengan antusias oleh para tokoh masyarakat Manado, Sulawesi Utara. Kegagalan musyawarah dengan pemerintah, menjadikan mereka mendukung PRRI, mendeklarasikan Permesra sekaligus memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat (kabinet Djuanda).
Pemerintah pusat tanpa ragu – ragu langsung bertindak tegas. Operasi militer dilakukan untuk menindak pemberontak yang diam – diam ternyata didukung oleh Amerika Serikat. AS berkepentingan dengan pemberontakan ini karena kekhawatiran mereka terhadap pemerintah pusat indonesia yang bisa saja dipengaruhi komunis. Pada tahun itu juga pemberontakan PRRI dan Permesta berhasil dipadamkan. Upaya Pemerintah Untuk Menumpas Pemberontakan PRRI dan Permesta adalah :
1.      Dalam mengatasi dewan banteng pemerintah mengirimkan komisi penyelidiki keadaan untuk mengetahui lebih dalam tentang tujuan - tujuan. Akan tetapi penyelidikan ini tidak berhasil karena A. Husein tidak mau berbicara kecuali dengan delegasi resmi pemerintah pusat.
2.      Dalam menanggapi adanya ultimatum kabinet juanda memberikan  tanggapan dengan tindakan tegas yaitu memeacat A. Husein, simbolon, zulkifli lubis. Yang kemudian disusul dengan gerakan  KSAD Nasution pada tanggal 12 februari 1958 dengan  membekukan daerah  komando sumatra tengah.
3.      Dengan diproklamirkan PRRI pada tanggal 15 Februari 1958. Maka KSAD memutuskan adanya operasi meliter yaitu operasi 17 agustus operasi gabungan  AD, AL dan AU yang dipimpin oleh A. Yani..
4.      Dalam menghadapi Permesta pemerintah melakukan pemecatan terhadap Somba dan mayor Runturambi dan dilanjutkan dengan Insaf yang dipimpin oleh letkol jonosewojo. Yang kemudian untuk menangani pengeboman manado, gororontalo, jailolo, dan morotai oleh AUREV operasi Merdeka yang terdiri dari operasi Saptamarga dan operasi Mena. Dengan penguasaan terhadap kota - kota basis PRRI dan Permesta. Hingga pada tahun 1961 perlawanan bereakhir dengan menyerahnya pimpinan PRRI dan Permesta.
Demikianlah penjelasan mengenai Kondisi Politik Indonesia masa demokrasi liberal. Menurut saya, demokrasi liberal apabila diterapkan di Indonesia sama sekali tidak cocok. Mengapa? Karena hal itu justru menimbulkan berbagai masalah, mulai dari tidak maksimalnya pembangunan bahkan sampai pemberontakan serta tidak searah dengan ideologi bangsa yaitu Pancasila. Dengan adanya sejarah, kita bisa belajar dari masa lalu untuk bisa membangun Indonesia menjadi lebih baik lagi. Jangan sampai terjun ke lubang yang sama untuk yang kedua kalinya. Semoga bermanfaat dan terimakasih sudah berkunjung ke blog saya ya!

Daftar Pustaka
 http://anitaramdhani.blogspot.co.id/2011/09/muhammad-natsir-dalam-sejarah-pemikiran.html
www.donisetyawan.com/bantuan-ekonomi-pada-perang-dingin/
http://www.idsejarah.net/2017/09/peristiwa-tanjung-morawa.html
http://mnabilkarim1.blogspot.co.id/2016/02/masyumi-dalam-persimpangan-politik-1945.html
http://www.idsejarah.net/2014/11/pemilihan-umum-1955.html
http://www.mikirbae.com/2016/04/pemikiran-ekonomi-nasional.html
http://www.donisetyawan.com/deklarasi-djuanda/
https://id.wikipedia.org/wiki/Deklarasi_Djuanda

http://kang-op.blogspot.co.id/2017/07/tugas-sejarah-indonesia-makalah-singkat.html